Enter your keyword

[:IN]Artikel[:]

[:IN]

Relasi yang Terabaikan

Manusia dan Kertas

Sofia Nurul Adni

Mahasiswa Program Magister Studi Pembangunan

 

Dekade ini kita tentu sering mendengar atau mendapatkan informasi tentang bagaimana posisi kertas di dunia ini akan tergantikan dengan pesatnya perkembangan digital, untuk menggantikan buku menjadi e-book, misalnya.

Selain itu, kita juga sering dicekoki dengan berbagai isu yang ditimpakan pada industri kertas. Bahwa industri kertas bertanggung jawab terhadap deforestasi dan hilangnya sejumlah biodiversitas yang ada.

Deforestasi mengakibatkan sumber penghasil oksigen serta penyerap karbondioksida menjadi hilang sehingga mengakibatkan efek rumah kaca. Tentu ini merembet pada permasalahan perubahan iklim secara mikroklimat juga iklim secara keseluruhan di seluruh bagian bumi ini, termasuk cairnya es di kutub utara dan selatan, naiknya permukaan laut, dan sebagainya.

Namun, benar sebegitu keji kah industri kertas di mata lingkungan? Berdasarkan data yang dirilis oleh European Declaration on Paper Recyclling pada tahun 2014 sekitar 72% kertas di Eropa didaur ulang, atau sekitar 2 ton kertas didaur ulang setiap detiknya.

Berbanding terbalik dengan sampah elektronik yang didalamnya memuat e-book serta artikel elektronik lainnya yang menyumbang  sampah hingga 41 juta ton sampah per tahun. Tentu jenis sampah ini merupakan jenis sampah yang sulit untuk didaur ulang dan mengandung berbagai jenis zat yang berbahaya.

Fakta lain juga menyebutkan bahwa justru penggunaan kertas meningkat setiap tahunnya, bahkan menurut Kemenperin, pasar kertas domestik naik sekitar 4,2% setiap tahunnya. Hal ini tentu menentang berbagai mitos mengenai bergesernya posisi kertas  dengan hadirnya media elektronik.

Berbagai isu yang dikaitkan dengan kertas ini tentu memberikan kegalauan pada manusia, membuat manusia sedikit merasa berdosa ketika membeli sebuah buku, atau sekedar membeli majalah edisi terbaru.

Sejak dahulu manusia memiliki kecenderungan untuk merekam sebuah peristiwa maupun buah pemikiran yang dianggap penting, ya, sejak dahulu, sejak zaman pra-sejarah.

Batu, dinding gua, tanah liat, dan benda-benda lainnya digunakan oleh manusia pada zamannya untuk menceritakan apa yang mereka lihat, mereka lakukan, rasakan, pikirkan, temukan, bahkan sesuatu yang mereka inginkan. Tulisan dan gambar tersebut kemudian menjadi pelajaran bagi generasi-generasi selanjutnya.

Tidak heran,  setelah ditemukannya kertas, peradaban dunia menjadi berkembang pesat. Kertas kemudian menjadi media perekam historis, namun tentu menjadi sesuatu yang lebih mudah digunakan, lebih mudah dibuat, serta lebih mudah untuk dibawa kemanapun manusia inginkan dibandingkan media tulis sebelumnya.

Fungsi kertas kemudian menjadi beranekaragam, tidak hanya sebagai media untuk perekam historis, tetapi juga sebagai media menumpahkan ide, perasaan, serta pengembangan bahasa untuk berkomunikasi.

Melalui kertas, karya-karya manusia dapat melegenda serta mendunia. Manusia satu dapat mengenali manusia lainnya, mengenali tempat yang bahkan belum pernah ia datangi,  hingga dapat mengetahui peristiwa-peristiwa yang terjadi di masa yang lain. Relasi yang terbentuk serta terjalin antar manusia-kertas menjadi begitu kompleks.

Bentuk, aroma, warna,  serta tekstur dari kertas bahkan dapat memengaruhi kejiwaan manusia, bagaimana ia menstimulus hasrat untuk menulis, membaca, bahkan menstimulus untuk berimajinasi.

Kertas dapat mengubah cara pandang manusia tentang dunia. Sebagai contohnya, sebuah cerita yang dinarasikan dalam tulisan, bisa saja tidak benar-benar sesuai dengan apa yang sebenarnya terjadi, hal ini dikarenakan tulisan terkadang menjadi sebuah alat komunikasi tanpa ekspresi, sehingga ekspresi yang dihasilkan dari sebuah karya tersebut sangat disesuaikan dengan siapa yang membuat dan siapa yang membaca.

Kertas menyediakan cara bagi manusia untuk mempersepsikan dirinya sendiri, baik dalam sebuah tulisan maupun sebuah gambar. Relasi antar manusia-kertas juga dapat terwujud ke dalam objek-objek material lainnya, seperti ilmu pengetahuan yang ditulis oleh para peneliti kemudian direalisasikan oleh para praktisi, dimana baik peneliti maupun praktisi sama-sama melakukan relasi terhadap kertas yang sama, yang berisi oleh sebuah pengetahuan, lalu mengimajinasikan suatu objek yang sama dan kemudian imajinasi tersebut diproses hingga menjadi sebuah material yang riil.

Kertas kemudian menjadi kian dinamis dalam peran serta fungsinya. Tidak lagi menjadi sekedar media, tetapi juga menjadi cerminan manusia, apa yang ia inginkan, harapkan. Sebagai contoh, kita bisa lihat betapa design atau kemasan dari suatu produk sangat memengaruhi motif orang untuk membeli produk tersebut.

Suatu jenis cemilan yang dibungkus dengan plastik  biasa dijual seharga Rp2000,00-Rp5000,00 di toko-toko kelontong, setelah dikemas ulang menggunakan jenis kertas tertentu serta dihiasi dengan tulisan dan gambar yang menarik, cemilan tersebut dapat dihargai Rp25.000,00-Rp35.000,00 dan dijual di toko-toko modern seperti supermarket, dll.

Tentu kita dapat membayangkan jenis kertas yang digunakan, keras yang begitu kokoh, sedikit mengkilat dengan warna-warnanya yang menarik, menampilkan gambar cemilan tersebut yang dihidangkan lengkap dengan daun jeruk diatasnya, dan saus sambal disampingnya,  memberikan kita bayangan bagaimana renyahnya atau gurihnya cemilan yang ada di kemasan tersebut.

Walaupun terkadang rasa cemilan tersebut tidak sesuai dengan apa yang kita bayangkan, tapi kemasan itu sudah berhasil mendorong dan memotivasi kita untuk membeli cemilan tersebut.

Kertas merupakan hasil dari objektifikasi atau materialisasi kehendak dan pengetahuan yang dimiliki oleh manusia, namun ini dengan catatan jika sifat-sfat fisis dari kertas  terkait erat dengan fungsi yang dimaksudkan oleh manusia yang membuatnya.

Misalnya kertas yang dibuat sebagai kemasan haruslah disesuaikan dengan imajinasi pembuatnya sehingga kemasan tersebut dapat merepresentasikan produk yang ada didalamnya, atau membuat konsumen berimajinasi tentang harapan yang ia inginkan dalam sebuah produk. Objektifikasi ditanamkan melalui warna, simbol, gambar, dan tulisan yang ada dalam kemasan.

Hal ini juga berlaku pada seorang novelis yang menginginkan cerita yang ia narasikan dalam tulisan dapat membuat para pembacanya benar-benar membayangkan cerita tersebut benar-benar terjadi.  Untuk mencapai tujuan itu, novelis haruslah mengobejtifikasikan   cerita melalui pemilihan kata yang ia gunakan dalam teks-teks yang ia sampaikan dalam novelnya.

Dalam bukunya, yang berjudul Tata Kelola Teknologi, Sonny Yuliar menjelaskan tentang bagaimana adanya efek amplifikasi atau efek reduksi terhadap relasi antar suatu objek dengan manusia, yang tentu dapat kita bayangkan hal serupa terjadi dalam relasi antar manusia dengan kertas.

Kertas bukan sekedar benda material yang dikenai tindakan manusia atau sekedar media untuk tujuan tertentu. Suatu tranformasi pengalaman fenomenologis berlangsung saat penggunaan kertas tersebut berlangsung. Melalui keterlibatan tubuh manusia serta berbagai macam indera yang digunakan manusia mendapatkan hal lain dari interaksi serta konektifitasnya dengan kertas.

Sebagai ilustrasi, saat menggunakan buku, seorang pembaca dapat mencium bau dari kertas yang ia buka lembaran tiap lembaran. Dalam proses penciuman serta sentuhan kulit tangan dengan kertas tersebut pembaca terstimulus untuk mengimajinasikan sesuatu yang mendalam mengenai apa yang ia baca.

Di lain sisi jika pembaca novel menggunakan buku elektornik untuk membaca sebuah cerita, pembaca biasanya tidak dengan mudah untuk memulai imajinasinya. Sehingga meskipun dengan buku elektronik pembaca menjadi lebih mudah untuk menyimpan ratusan cerita dalam satu file, pada saat yang sama hubungan antara pembaca dengan novel tersebut menjadi tereduksi. Cita rasa kian lama kian berkurang.

Tereduksinya relasi ini menjadi penyebab berbagai macam persoalan yang kini banyak terjadi. Sebut saja ujaran-ujaran kebencian atau berita hoax yang kini marak terjadi di berbagai media sosial.

Tereduksinya relasi antar manusia dengan media tulisan menghilangkan etika-etika dalam setiap kata yang disampaikan melaui teks-teks elektronik. Cerita yang dinarasikan menjadi kosong makna sehingga menghasilkan pesan yang sering disalah-artikan oleh para pembacanya.

Fenomena ujaran kebencian atau penyebaran berita hoax tersebut terjadi karena pada sesuatu yang ditulis secara elektronik tidak adanya perasaan dan penjiwaan yang dilibatkan, atau tidak sedalam seperti jika dituliskan atau diketik dalam suatu kertas. Proses pemikiran menjadi lebih singkat, sehingga kata-perkatanya menjadi berkurang bahkan hilang. Padahal seharusnya makna pada setiap kata yang ditulis melibatkan hati nurani.

Relasi manusia-kertas sesungguhnya tidak dapat digantikan dengan media elektronik, ada cipta rasa yang tidak dihadirkan oleh berbagai macam media eletronik tersebut. Sekalipun sebuah tulisan atau gambar dibuat dalam laptop atau komputer, kehadiran fisiknya mengandung arti yang lebih baik daripada sekedar disajikan dalam sebuah layar.

Berdasarkan penjelasan-penjelasan diatas tentu kita ingin mempertahankan cipta rasa yang biasa kita dapatkan dari suatu benda bernama kertas. Cipta rasa tersebut sesungguhnya juga sangat memengaruhi kehidupan kita sebagai manusia, setidaknya dalam berelasi dengan manusia lain, kertas memberikan tawaran etika yang lebih baik dibandingkan media elektronik, hal ini juga terlihat bagaimana banyak peraturan dalam sebuah penulisan, dari segi jenis font yang digunakan, besaran font, besar-kecil huruf, dan sebagainya.

Fenomena lain tawaran etika yang diberikan oleh kertas dibandingkan dengan media elektronik adalah tidak mudahnya suatu karya untuk ditiru, sehingga disinilah kertas dapat menjadi salah satu media yang dapat memenuhi kebutuhan manusia atau human needs, yaitu berupa self esteem.

Karena dari karyanya, manusia bisa mengambangkan serta menaik-kelaskan harga dirinya sehingga ia juga bisa mendapatkan pengakuan dari manusia lainnya atas karya yang ia hasilkan. Tentu kreatifitas pada karya-karya tersebut merupakan buah hasil dari relasinya dengan kertas.

[:]